Senin, 28 November 2011

AS Ingin Gembosi ASEAN?

INILAH.COM, Jakarta - Ketidak setujuan Amerika Serikat atas keputusan ASEAN yang menunjuk Myanmar selaku Ketua ASEAN 2014, sekilas hanyalah sebuah manuver diplomasi yang tidak begitu penting.

Penentangan itu hanya untuk memperlihatkan bahwa AS merupakan negara besar yang selalu ingin diperhitungkan. Sehingga konsekwensi dari penentangan itu tak akan ada. Lagi pula ASEAN bukan organisasi regional yang dibentuk atas konsep AS. ASEAN berdiri pada 1967 bukan karena diberi donasi dan hibah jutaan dolar AS dari Washington.

ASEAN merupakan sebuah perkumpulan independen antar bangsa-bangsa di Asia Tenggara. ASEAN didirikan justru untuk memposisikan bangsa-bangsa di Asia Tenggara pada posisi netral dalam menghadapi persaingan pengaruh antara kekuatan AS dan (bekas) Uni Sovyet di masa Perang Dingin (detente).

Sehingga tak akan terjadi, gara-gara ASEAN tidak mengikuti keinginan AS, lalu terkena sanksi AS atau Rusia, pecahan Uni Sovyet maupun semacam embargo dari badan internasional seperti PBB.

Penunjukan ASEAN kepada Myanmar sebagai Ketua ASEAN 2014 tidak melanggar konvensi manapun yang disepakati bangsa-bangsa di dunia. Penunjukan itu merupakan hak prerogatif ASEAN. Penunjukan itu justru untuk kepentingan demokrasi di dunia.

Sebab dengan penunjukan itu Myanmar secara implisit menerima dan menyetujui keinginan seluruh anggota ASEAN agar pemerintahan demokratis secara berangsur harus diterapkan di negara itu. Maka bila Myanmar berhasil menjadi sebuah negara demokrasi, keberhasilan itu merupakan kontribusi ASEAN kepada dunia.

Jadi tanpa persetujuan negara manapun, termasuk AS, keputusan ASEAN tetap harus bisa terlaksana. Agar keputusan ASEAN itu memiliki wibawa dan manfaatnya bagi masyarakat dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara, menjadi kewajiban semua anggota ASEAN untuk memperkuat keputusan itu dengan tindakan nyata.

Misalnya jangan lagi ASEAN ikut-ikutan mengutuk rezim Myanmar sebagai pemerintahan yang tidak menjalankan kepemimpinan demokratis. Masalah penerapan sistem politik dan demokrasi di negara itu, merupakan hak azasi bangsa Myanmar. Tidak satupun negara di dunia ini yang bisa menjamin, sistem politik dan demokrasi di negaranya merupakan yang terbaik.

Banyak bukti memperlihatkan sistem politik dan demokrasi di AS, tidak sesuai jika diterapkan di Asia, Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pendekatan AS tidak selalu konstruktif. Sistem demokrasi yang bagaimana yang dipilih Myanmar, hal tersebut merupakan pilihan bangsa Myanmar sendiri. Tidak ada pihak lain yang berhak mengatur apalagi mendikte sistem demokrasi yang harus dipraktekkan oleh Myanmar.

Akan tetapi melihat berbagai agenda global Amerika Serikat beberapa tahun terakhir ini, penentangan AS terhadap kepemimpinan Myanmar di ASEAN, tidak boleh dianggap enteng. ASEAN harus mengantisipasinya dengan berbagai kebijakan yang akan mendorong organisasi regional ini menjadi sebuah perkumpulan 11 negara yang solid dan harmoni.

Jangan biarkan AS masuk dalam lobi ASEAN. Sebab AS dikenal sebagai negara yang selalu ingin memaksakan konsepnya kepada negara lain. Tidak peduli siapapun yang memerintah di Washington, apakah dari Partai Demokrat (Obama) atau Partai Republik seperti di eranya George Bush, Gedung Putih sudah punya platform. Yaitu sekali sudah ditetapkan sebagai sebuah kebijakan, sampai ke ujung dunia, sekalipun dunia akan kiamat, kebijakan itu harus dijalankan. Naga-naganya, AS akan mengganggu ASEAN lewat kasus Myamar.

Jika kita lihat salah satu agenda AS yang berencana akan memindahkan ribuan pasukannya di Afghanistan ke kawasan Asia Tenggara, hal ini patut dilihat sebagai sebuah gangguan AS pada ASEAN.

Penunjukan Myanmar sebagai Ketua ASEAN dapat dijadikan pintu masuk untuk mengganggu ASEAN. Pemindahan pasukan itu bagian dari usaha menghancurkan atau menggembosi ASEAN. Sebab setiap kehadiran pasukan asing yang bukan anggota ASEAN di wilayah ASEAN, cepat atau lambat akan mempengaruhi kekompakan organisasi regional ini.

Pengalaman juga membuktikan, AS dengan mudahnya menciptakan sebuah kondisi sehingga ada alasan bagi Washington untuk mengirim pasukannya di sebuah wilayah. Tidak sekali dua kali AS melakukannya. Melainkan sudah berkali-kali.

Di Panama, Amerika Tengah misalnya, gara-gara Presidennya tidak bersepaham dengan Washington dalam soal pengelolaan Teluk Panama, lalu diciptakannya sebuah situasi yang memungkinkan tentara AS punya hak untuk masuk ke negara itu kemudian menculik Presiden Panama.

Peristiwa hampir sama terjadi di Irak dan Libya. Kejatuhan rezim Saddam Husein dan Moamar Khadafy, tidak lepas dari agenda AS. Washington dengan mudahnya menciptakan kondisi tidak aman di sebuah wilayah untuk kemudian melegitimasi haknya menegakkan demokrasi di sebuah kawasan.

Perang Timur Tengah yang kemudian berubah menjadi persoalan Palestina dan Israel, diawali oleh penentangan AS atas penutupan Terusan Suez oleh Mesir pada era 60-an. Tapi banyak yang sudah lupa sejarah.

Oleh karenanya Indonesia yang lebih berpengalaman dan sebagai salah satu pendiri organisasi yang sudah berusia 41 tahun ini, patut mengambil inisiatif. Indonesia juga merupakan negara tempat kedudukan Markas Besar ASEAN. Sehingga sangat wajar apabila Indonesia lewat ASEAN harus bisa lebih berinisiatif dibanding negara anggota lainnya.

Hal yang perlu diantisipasi misalnya soal apa yang disebut sengketa wilayah oleh 6 negara anggota ASEAN di Laut China Selatan. Kawasan ini mulai disebut Presiden Obama sebagai wilayah yang dapat menimbulkan ketidak stabilan. Padahal selama ini tidak pernah terjadi ketegangan di sana. Obama secara spesifik menunjuk China sebagai negara yang berpotensi penyebab ketidak stabilan itu.

Pernyataan klise ini sangat berbahaya. Sebab yang berpotensi menjadi penyebab ketidak-stabilan di Laut China Selatan itu, justru Amerika Serikat. Sebab AS tidak punya hak sejengkal meterpun di wilayah itu. AS hanya pelintas batas.

Kalaupun China tidak punya hak seperti di AS, tetapi dari nama saja wilayah itu sudah cukup jelas : "Laut China Selatan". Sehingga tidak patut jika orang luar seperti AS yang justru menganggap China sebagai pihak berpotensi mengganggu kestabilan kawasan.

Oleh sebab itu penentangan AS terhadap keputusan ASEAN harus dihadapi dengan kegiatan diplomasi yang lebih agresif. Kalau Presiden SBY agak rikuh melakukannya mengingat Presiden kita ini pernah menyebut Amerika merupakan tanah air keduanya, beri kewenangan seluas-luasnya kepada Menlu Marty Natalegawa menjalankan diplomasi agresif tersebut.

Jika Marty juga rikuh karena sudah terbiasa dengan gaya diplomasi yang santun dan aman, serahkan hal ini kepada Dubes Dino Pati Djalal. Tapi kalau Dubes di Washington ini juga tidak merasakan adanya semacam ancaman dari Amerika Serikat berhubung Dino mungkin sudah cukup Americanized, yah, satu-satunya cara kita hanyalah berdoa.

Semoga akan muncul sebuah kesadaran tentang apa saja yang menjadi ancaman ke depan bagi Indonesia. Dan tentu saja kita berharap agar pada 2014, Indonesia memiliki presiden yang lebih peka terhadap perkembangan geo politik di kawasan dan global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar